Kegirangan yang saya kantongi dari tanah halaman di Yogya, sejak saat itu sedikit-sedikit memendar lalu menguap dan hilang perlahan-lahan oleh kesaksianku mendapati camp seperti gambar di postingan sebelumnya. Langsung tanpa mandi, tanpa cuci muka, ku dudukan pantat ku di atas batu-batu keras dalam gelapnya malam, lalu segera di bagi-bagikan bungkusan makan malam untuk setiap manusia hidup yang ada di sana. Perasaan ku berlarian kemana-mana, roaming, dan duaaarrrrr... gue kecewa. Ini pengalaman pertama dan buruk dalam sejarah kehidupanku, makan tanpa meja, piring, sendok, tnpa cahaya lampu atau lilin, tanpa tikar, tanpa rumah, karena beratapkan langit berbintang sedikit mendung dan dingin terasa sampai membekukan seluruh tubuh. Sambil terus melahap nasi padang dengan ayam goreng ke dalam mulut, hati tetep tidak mau menerima kenyataan yang ada. Jika di copot, dia akan benar-benar memberontak ingin pulang. Sial...
Pagi di Lombok
Makan malam selesai. Saatnya beristirahat, seluruh manusia dihalau masuk ke tempat peristirahatan di camp, sebut saja tenda hijau kumuh itu. Gue tekanin, NO FACILITY AT ALL, and there was no ligtht. I felt like it was the nightmare that coming thru, sucks... Ku tenteng tas ransel memasuki tenda hijau lalu beberapa orang menggelar terpal dan melapisi tikar di atasnya. Sepatu ku copot, dan meraba-raba kawasan untuk ku tiduri-memang tak berkasur-, di sana-sini batu-batu menonjol bagai mau menterapi punggung saja. "Uhhh, firasat buruk menyergapku untuk esok hari pertamaku di sini'', gumamku.
Beautiful sunset ever...
Gunung Rinjani di utara
Bangun tidur badan terasa pulih kembali. Embun menggantung di langit-langit tenda hijau, dan sesaat kepala menyapunya dingin embun membasahi kulit kepala. Ku ambil sandal jepit dari tas, dan segera keluar tenda karena tak sabar melihat pemandangan alam Lombok. Oh Subhanallah, Gunung Rinjani yang selama ini gue lihat di internet dan media cetak, sekarang nyata terpampang di depan mata. Tinggi dan panjang dengan puncak tak beraturan menyerupai pegunungan panjang di utara. Kabut masih tebal menyelimuti pedesaan yang tengah di gusur seperti porak poranda akibat pembangunan bendungan. Sementara matahari cerah mengintip di balik bukit kecil berbatu andesit basaltik di ufuk timur. Di bagian barat, terdapat rumah rumah dan unit berat diparkir rapi disamping kantor Joint Operation (JO), dan ada semacam parit selebar 5 meteran membelah bumi dengan arah barat-timur sepanjang 1 km lebih kurangnya (area kerja bendungan utama/main dam), di atas parit semacam lapangan datar terbentang luas yang dikompaksi dengan Compactor. dan beberapa instalasi silo, gudang, dan gunungan pasir dan batu-batu besar di beberapa titik lokasi. Gue segera tersadar tenda kumuh itu berdiri di puncak bukit. Haaahhhh,
Desa yang porakporanda akibat proses penggusuran untuk pembangunan bentungan
Gue amati tanah berwarna kemerahan mungkin karena unsur besi dari hasil lapukan andesit basaltik, terasa becek, lembek seperti habis diguyur hujan hari-hari lalu. Awan sedikit mendung. Orang-orang mulai terbangun, dan saatnya membersihkan badan. Tapi.......air di sana susah. Lalu terlihat sebagian orang menuruni bukit menuju sungai. Sungainya tak terlihat karena terhalang oleh rerimbunan semak hijau jauh di titik terbawah bukit. Gue membututi mereka. Peralatan MCK sudah ditangan, langkah kaki terseok-seok karena medan turun yang tak memadai. Sesekali harus mencengkeramkan jari-jari kaki agar tak terpeleset. Namun at the end, gue urungkan niatku menikmati segarnya air. Gue tak jadi ke sungai, karena orang-orang menasehatiku untuk memakai air kran yang berjejer di tengah jalan. Batinku bertanya kepada ku, "Apa gue kuat hidup kayak begini terus-terusan?" Apa boleh buat -sedikit meyakinkan diri, padahal keyakinan gue begitu terguncang menghadapi sikon yang ada-
Ngeceng malam-malam di kota....
Keseharianku di sana, pagi setelah bangun tidur jam 06.00, lalu membersihkan muka, kaki, dan tangan, tak lupa menggosok gigi dengan air tandon di balik dapur. Selesai itu, ngobrol-ngobrol dengan rekan sekerja ditemani susu hangat, teh hangat atau kopi hangat (tinggal milih, dan nuang ke gelas sesuka hati). Jam 07.30 (ga pasti juga sih, tergantung sikon) sarapan bareng-bareng. Harus ku ceritakan juga, beberapa menu untuk sarapan, makan siang dan malam, sbb: nasi putih layak makan (yahh boleh dibilang begitu, tapi nasinya ngga seratus persen matang hlo alias "kemlethis"-Red:terasa berasnya), telur dadar, kering tempe, balado terong, sayur lodeh nangka, soto ayam, soto sapi, tempe goreng, tahu goreng, mie goreng, sayur santan, ikan asin, ikan kranjang goreng, ayam goreng, sambal, dll, tak ketinggalan krupuk bertoples-toples. Barang sekali pun di sana gue ngga pernah makan mie instan, justru menu-menu tadi sungguh menyehatkan, eeits, tapi makan terasa sangsi dengan nasi putih "kemlethis" yang bikin seret tingkat Himalaya hahaha. Kadang kalau tengah malam, gue suka iseng nyuruh dibikinkan nasgor sama pak koki, dan malah ngga enak soalnya dibuatin beneran, padahal niat gue bercanda aja hlo....hehehe. Dilanjut jam 08.00 start kerja, siang jam 12.00-13.00 istirahat, dan setelahnya dilanjut kerja sampai jam 17.00 (lembur wajib 1 jam, harusnya jam 16.00 udah kelar). Rehat bentar, lalu ngajakin temen-temen se-mess nyebur sungai, dan brrrrrrrr dingin sekali. Pernah juga waktu itu hampir mati tenggelam gara-gara didorong sama teman yang usil. Rasanya, uhhh...panik bukan main, nyawa gue hampir melayang.
Senja datang sebagai potret sun set terindah yang pernah ada. Gue dan kawan-kawan mulai beranjak menuju tenda, telanjang dada dengan selembar handuk menutupi bagian "itu"-nya masing-masing, di tangan menenteng cucian basah yang siap pakai setelah kering di kemudian hari. Lalu ganti baju, langsung berbondong-bondong mengisi perut di dapur. Sekembalinya dengan perut penuh makanan, orang-orang mulai menikmati quality time-nya sendiri-sendiri, sebagian bertelepon dengan pacar, keluarga, ada yang main kartu, ada yang ngobrol, ada yang mulai tidur, dan gue masih punya kewajiban bikin report harian (setelah ada pembagian kerja) yang sampai jam 01.00 baru kelar tergantung kinerja per harinya. Setelah selesai tidur manis dan memimpikan kapan bisa sukses...hehehe Begitu seterusnya sampai "sesuatu" memulangkan ku ke tanah Jawa.
Calon base bendungannya luas dan datar, cocok buat main bola
Office JO
Medan kerja di main dam sepanjang 1 km
Jika ditotal ada sekitar 30an orang yang dipekerjakan termasuk gue. Hampir setengah bulan pertama belum ada pembagian kerja secara pasti dari Bos Pimpinan, seorang laki-laki tambun dengan brewok menghiasi wajahnya, berkulit hitam, tinggi, yang ternyata berumah tinggal di Yogya (paling ngga tetanggaan sama gue), seorang alumnus universitas swasta dengan jurusan geologi terbaik di provinsi itu. Sementara konsen pekerjaan terfokus pada pembangunan mess, dapur, toilet, dan rumah kerja. Parahnya gue seratus persen terlibat dalam pembangunan itu...parah. Dalam benak gue mengaduh, campur aduk, tapi memang tidak ada yang bisa diperbuat. Perasaan serba kalut itu nampak semakin parah oleh sebuah prasangka, " gue kan anak sekolah yang -alhamdulillah- terdidik dan terpelajar, kok kerjaan gue kayak gini...salah tempat,...apa gue keluar aja ya, tapi masa' secepat itu, apalagi gue ngga mungkin dengan sengaja mengecap sendiri ketidakprofesionalan gue di sini jika melakukan hal itu. Oh Tuhan, semoga aku kuat."
Waktu kerja....capek bro
Pada akhirnya gue tahu, selama ini gue salah menaruh persepsi tentang dunia tambang dan dunia konstruksi sipil, yang keduanya selalu sarat akan anggaran dana berlipat-lipat miliar rupiah. Ngomong-ngomong tentang rupiah ujungnya pun menyentuh sentilan honor bulanan gue yang justru berbanding terbalik. Dilihat dari segi ketenagakerjaan dengan pengalaman 'nol' dan pengetahuan terbatas, boleh jadi besarnya setimpal, tetapi untuk kelas seorang kepala yang ngurusin lapangan dan segala kerjaan kantor, gue rasa nominalnya perlu ditinjau ulang. Plus uang capek dan bonus juga tak boleh ketinggalan. Dari segi lain, melihat posisi gue yang masih bau sekolahan alias belum lulus, honor yang gue terima malah alhamdulillah membanggakan. Selain karena gue diberi kesempatan belajar dan mendalami keilmuan serta menangani kasus-kasus secara direct di lapangan, karir dan hasil kerja gue mendapat acungan jempol yang malah membikin gue PD ngga ketulungan. Bukan unjuk kesombongan tapi sekedar nge-share, honor yang gue terima di bulan pertama "terbesar" (alhamdulillah) di banding temenku sealmamater, bahkan, dengan rekan yang sudah jebolan sekolah sekalipun. Menurut gue, ini sebuah pencapaian perdana yang gemilang dan sebagai modal karir kedepan.
Sewaktu boleh narsis, ngga ada larangan nya kok. wkwkwk
Sebulan telah berlalu, perantauan di Lombok masih terus berlanjut. Keseharian bekerja lapangan dan kantor untuk malam harinya, penuh hari dengan goal-goal yang menegangkan, namun tanpa libur barang sehari saja. Pekerjaan full-time yang dibebankan kepadaku untuk reporting ditemani oleh satu orang yang pekerjaannya pun sudah fit and divided to each person. jadi jelas mana kerjaan gue dan mana kerjaan dia, hal ini cukup membetengi jikalau terjadi perseteruan data antara gue dengan dirinya. Dirunut dari perawalannya dulu, jujur tidak ada seorang pun yang 'paham dan ngerti' itung-itungan dan rumus-rumus untuk mencari angka-angka dalam laporan harian yang aku buat kala itu. Gue pun sebagai ujung tombak dan aktor perusahaan yang secara tertib mengurusi dan mengantar berkas laporan ke kantor kontraktor tiap paginya menjadi super "kaku" menghadapi keadaan ini. So? Dan sebuah mindset harus diprogram ulang di dalam prosedur internal kepala, "Gue memposisikan diri gue untuk belajar. Goal gue bukan sepenuhnya uang, tapi ilmu. Gue yakin mampu dan bisa". Akhirnya, dengan menampakkan kepolosan yang tiada terkira terpancarlah aura keingintahuan gue pada seorang recorder perusahaan seberang. Proses berguru berlangsung singkat, dan gue dipaksa untuk ngerti dan bisa. "Semua ini bagai rentetan petasan yang ngga boleh terputus dari sumbu ledaknya...ngerti?" Huuh...
Pada waktu berkumpul dengan teman se-mess atau ketika bertemu di lapangan, mereka menyapaku dengan embel-embel "Kepala Grouting", "Pak Dika" , "Bos Dika", "Bos Semen" yang kira-kira sekilas tidak bermakna sama sekali. Tapi di balik tabir embel-embel itu, gue menemukan sebuah sapaan hormat yang bukan remeh temeh, berkelas, dan berwibawa, bahwa gue dengan pekerjaan yang gue jalani tidak sembarang orang bisa. Pekerjaan Grouting? pernah mendengar atau melihat pekerjaan macam apa itu? Berikut ini gue ceritain dengan bahasa yang lebih ilmiah. Read on!
GROUTING
Grouting bertujuan menyatukan dan menambah kekuatan daya dukung pondasi dengan menyuntikan/menginjeksikan campuran semen dan air (semen grout) dengan perbandingan tertentu dan dengan tekanan tertentu pula pada batuan atau tanah untuk mengisi pori-pori, celah, rekahan dan retakan. Selain itu, grouting diperuntukan membentuk tirai atau lapisan kedap air atau lapisan yang permeabilitas airnya rendah di pondasi batuan bendungan, yaitu untuk menghentikan kebocoran air yang melalui bendungan.
Semen grout berbahan dari campuran semen Portland dan air pada umumnya, dan ditambah campuran lain, misal pasir, sesuai saran dari Direksi. Air yang digunakan harus bersih dan bebas dari kandungan asam, minyak, alkali, garam zat organik atau zat lainnya yang reaktif dengan semen. Sedangkan semen yang dipakai harus berkualitas sama dengan semen Portland (sesuai dengan ketentuan ASTM-american standart testing and materials- C 150-67 atau yang disetujui Direksi). Semen tidak terdiri dari partikel dengan ukuran lebih besar dari 80 mikron.
Semen grout diinjeksi dengan pompa berkapasitas 105 liter/menit ke dalam lubang bor yang sudah dilakukan tes tekanan air (water pressure test). Besarnya perbandingan semen dan air dalam semen grout didasarkan pada nilai Lugeon (Lugeon Value) yang diperoleh dari hasil tes tekanan air. Semakin besar nilai Lugeon menandakan semakin besar pula volume ruang di dalam tanah/pondasi. Yang itu artinya semen grout harus dibuat dengan proporsi tingkat kekentalan yang tinggi pula. Teori ini berlaku sebaliknya untuk kondisi volume ruang tanah/pondasi yang kecil.
Nah, itulah sedikit ulasan tentang grouting secara umum. Namun dalam praktik lapangan, yang terjadi bisa sangat jauh. Sepanjang yang gue alami di Lombok, pekerjaan "menggali uang" di sana secara kasat mata tidak menyalahi kaidah teknis yang berlaku. Tetapi ketika mencoba menengok secara mendalam dalam rentetan pekerjaan mulai dari pengeboran, tes tekanan air dan grouting, gue mengalami sendiri dan ikut basah kuyup bermain tarik-ulur dalam permainan bisnis yang serba "hitam". Permainan itu beralaskan mata uang ratusan juta rupiah. Ada memang rasa menyesal telah terjun dan bermain mengikuti amanat Bos Pimpinan perusahaan. Tapi andai boleh membela diri, dalam lubuk hati yang paling dalam sekalipun, gue katakan gue membenci pekerjaan itu sepenuhnya, bukan karena fisik pekerjaan yang berat dan melelahkan melainkan pekerjaan itu menjadi semacam petak-umpet di alam kegelapan. Yang jelas gue takut akan gelap, itu saja. Pembelaan lain, justru disabdakan sendiri dari Bos Pimpinan, "Ketahuilah posisimu saat ini, kamu masih begitu lemah. Suatu saat ketika kau tumbuh dan kokoh kamu bisa tentukan sendiri cara permainan yang sesuai dengan hati nurani mu. Tapi saat ini, belum saatnya kamu terapkan permainanmu itu". Ok, gue ngaca dan cermin mengatakan hal yang sama dengan Bos Pimpinan. Gue telah terjebak dalam bisnis hitam yang bahkan gue teramat sangat membencinya. Semoga Allah mengampuni dosaku. Amin.
hehehe, Bos Pimpinan kurang ajar bener ya,
Opsss, I dont think that I had drunk.
gulungan kabel listriknya lebih besar dari base bendungan yah...
Menantang matahari...panas e rekk
Bergeser dari dunia bisnis yang gue lakoni di sana, hatiku sering terusik perasaan bersalah dan pikiran ku buntu tak temukan jalan keluar. Titik air maksimum dalam bendungan itu kelak, berada di elevasi 284 mdpl, yang meng-cover lebih dari 60 ha lahan di beberapa kecamatan, dengan tinggi bendungan dari muka tanah 30 meter, artinya tekanan air bendungan yang nantinya ada sangatlah besar (ingat: P air= 1 kg/cm3). Asumsikan air bendungan penuh, maka dalam luasan 1 cm2 saja tekanan yang diterima bendungan di kedalaman 30 m sebesar 3 kPa. Sementara bangunan bendungan utama secara horizontal sepanjang 1km dengan luasan permukaan air bendungan yang sebegitu luasnya tentu menyimpan energi yang mampu meruntuhkan bangunan bendungan utama jika dalam pembangunannya saja telah menyunati kaidah teknis dengan menjalankan bisnis gelap gulita. Naudzubillahimindzalik.
Gue ngga bisa banyak cerita panjang lebar tentang seperti apa persisinya dunia bisnis gelap gulita itu. Alasan paling kuat karena, permainan bisnis di dalam perusahaan yang gue alamin merupakan wujud kerahasiaan/konfidensial perusahaan. Dan pada dasarnya tidaklah patut bagi diri gue membeberkannya di sini setelah gue hengkang darinya.
Sementara itu ada beberapa hal penyebab keharusan gue keluar dari kursi jabatan di sana. Pertama, di akhir bulan Juni adalah hari pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi. Yang gue rasa, gue lebih enak dan nyaman berada di rumah apalagi kalau lolos seleksi pasti harus berurusan secara langsung dengan pihak pendidikan. Alasan kedua berkaitan dengan bejibunnya noktah hitam yang gue catat untuk perusahaan. Mulai dari pembayaran honor yang terlambat, ketersediaan fasilitas dasar hidup tenaga kerja yang sama sekali tidak memadai dan tidak diperdulikan, manajemen kerja yang buruk seperti jam kerja kurang tepat, tidak ada hari libur bagi karyawan (dan poin ini memojokkan ku bagai budak kerja yang tiada hentinya berpacu), plus juga bonus bagi karyawan atas prestasi kerja, baik tim atau secara individu tidak dipenuhi sesuai dengan yang dijanjikan pada awal kerja. Alasan ketiga, tidak bisa tidak bagi gue menjalankan bisnis gelap gulita tetaplah haram dan hina. Ini ibarat kata-kata, "enakan di elo, tapi kagak sama sekali di gue". Gue yang disuruh berbuat, orang-orang atas menyokongku di balik punggungku, sementara di depan gue harus berhadapan dengan singa yang siap menerkam ku kapan saja. Sampai-sampai singa itu pernah, memaki-makiku dengan kata-kata tak sedap dan sungguh menyayat hati kecilku. Teramat sakit sekali. "Dasar maling...bla..bla...bla...". Gue ngga kuat lagi, dan kalau memungkinkan gue lari kabur dari tempat itu untuk selama-lamanya.
di dalem bis saat-saat kepulangan ke Jogja di terminal setempat
Gelang Lombokkkk langsung dipake
Udah naik dek kapal ngga boleh lupa foto-foto dulu
wkwkwk,,,kok ngga keliatan yak?
kapalnya mau nambat tuh
pelabuhan lembarrr, Farewell
"ada yang kelupaan ngg kebawa, Dik?"
welcome to Padang Bay Port Bali... di sini terapung lebih dari 1 jam, jadi totalnya 6 jam ngambang di laut, capek deh
Masya Allah, mukaku mladhus bener yakk? nyebrang ke Ketapang...Bwi
Dingin dan arrived to Java at the last port...muka dan semuanya terasa lusuh, tapi gembira hampir sampe Jogja -eh masih jauh ndheng-
Bagi gue yang pernah berdoa berkunjung ke Lombok dan telah merasakan Lombok yang garang, gue tetep mempertanyakan kunjungan dan persinggahanku di sana, Lombok: Mimpi Buruk atau Jawaban Doa dari Tuhan? Semoga gue masih bisa ke sana mengunjungi bendungan itu lain waktu dan berdoa agar bendungan itu tak segera runtuh secepat seperti dalam bayangan yang pernah menghantuiku. Semoga.