Sore ini hujan tumpah ruah. Sesekali rintik-rintiknya datang bersama angin, menghasilkan suara gemericik yang terdengar menderu-deru di luar sana. Kadang-kadang rintik-rintik turun halus dan tak selang lama menjelma menjadi "grojogan banyu" yang semakin deras. Kemudian berhenti sama sekali. Lalu hujan datang lagi...lagi...dan lagii. Di balik jendela, langit tak nampak gelap, malah berwarna putih temaram sedikit pucat. Jalanan sepi. Biasanya -kalau tak lagi hujan- sore begini motor suka lalu lalang, ramai sekali. Ada yang pulang dari kerja, ada yang dari kampus, malah ada pula yang berangkat kencan. Wajarlah, di depan rumah berjejer kos-kosan: cowok dan cewek. Mereka itu anak kuliahan dari daerah jauh-jauh.#maaf sok tahu#
Akhir-akhir ini hujan datang di setiap sore atau malam hari, bahkan hujan bisa semalaman tanpa berhenti. Kemarin hujan hanya rintik-rintik saja. Sebentar reda, tapi malamnya turun lagi. Entah kapan berhentinya, Saya sudah terlelap tidur. Di pertengahan bulan ini cuaca memang tak menentu. Orang-orang bilang musim pancaroba. Untungnya hujan jarang di pagi hari (saya anak sekolah yang kudu stand by di pinggir jalan di pagi yang ga buta-buta amat sih)...Yuck, I hate waiting for the bus in the rain. Nah, di bawah ini ada sebuah catatan pinggir yang barangkali bisa menjadi eye opener: Betapa hak itu (in this context is THE RIGHT TO LIVE) sama sekali tak berarti apa-apa -untuk dituntut- ketika pelatuk siap ditarik. Kekejaman? Mungkin saja. Let's read!
HAK
Di depan moncong bedil yang dikokang, bisakah kita bicara tentang kekejaman?
Kita tidak kehilangan hak. Tetapi kita kehilangan kata. Kata-kata menjauh, menciut: kekejaman dan aniaya adalah pengalaman yang mengepung kita, mengucilkan kita dari konsep-konsep. Di depan moncong bedil yang dikokang, dunia menjadi tak bisa diterangkan.
Bahkan, sering dunia juga tak bisa diterangkan setelah bedil ditarik dan pembunuhan selesai.
Pukul 6 sore, 16 September 82, beberapa truk orang bersenjata, berseragam milisia Phalangis di Shatila. Malam itu ada api menyala di dalam dan terdengar suara deras tembakan.
Pukul 10 paginya, para wartawan datang. Mereka menemukan rumah-rumah sudah diledakkan. Agak di sebelah kanan, tak lebih dari 50 yard dari gerbang, tampak setumpuk mayat.
Inilah kesaksian Robert Fisk, wartawan The New York Times:
"Ada lebih dari selusin mereka, anak-anak muda yang lengan dan kakinya bertautan dalam rasa pedih kematian. Semuanya telah ditembang dari jarak dekat lewat pipi kiri atau kanan, pelurunya merobek sebaris daging ke arah kuping dan masuk ke otak . . . . Salah satu di antaranya telah dipotong kemaluannya. Mata mereka terbuka lebar, dan lalat mulai berkerumun. Mayat yang termuda mungkin baru berumur 12 atau 13 tahun."
"Di sebelah lain jalan utama, naik sejalur dari reruntukan, kami menemukan jasad lima perempuan dan beberapa anak. Perempuan-perempuan itu setengah baya, dan mayat mereka terbujur menutupi seonggok puing. Seorang di antaranya telentang, pakaiannya robek terbuka, dan sepotong kepala gadis cilik muncul dari belakangnya. Gadis itu berambut pendek, hitam dan ikal, dan matanya memandangi kami dan ada rengut di wajahnya. Ia sudah mati."
"Seorang bocah lain terhantar di jalan seperti setangkai bunga terbuang, bajunya yang putih dikotori lumpur dan debu. Umurnya tak lebih dari tiga tahun. Belakang kepalanya telah diledakkan oleh sebuah peluru yang ditembakkan ke otaknya. Salah satu mayat wanita memegangi rapat bayi yang kecil. Peluru yang menembus dadanya membunuh bayi itu juga . . . ."
Bagaimana menerangkan ini? Dendam orang Phalangis kepada orang Palestina di Libanon? Rasa frustasi yang tertimbun? Kekejaman tanpa kemarahan? Orang bisa menyusun sebuah risalah dan melontarkan pembelaan ataupun tuduhan yang fasih. Tapi kita tak selamanya membutuhkan itu. Potret itu teramat kongkret. Mungkin ia hanya bisa punya makna bila kita berada di depan moncong bedil yang dikokang: sebagai korban atau calon korban, sebagai yang teraniaya dan tak punya kekuatan apapun, meskipun kita punya HAK.
Sebagai halnya 5000 orang Yahudi yang berdiri telanjang, di udara dingin, di dekat kuburan massal yang disiapkan, sebelum pasukan SS Jerman menghabisi mereka, di dekat Dubno, Ukraina, 5 Oktober 42.
Seperti kesaksian Herman Graebe, arsitek Jerman yang ada di tempat itu:
"Orang yang diturunkan dari truk-truk itu -pria, wanita, anak-anak pelbagai umur- harus telanjang atas perintah anggota SS yang membawa cambuk . . . . Mereka harus menaruh pakaian yang sudah ditentukan, untuk sepatu, pakaian luar, dan pakaian dalam. Saya lihat 800 sampai 1000 pasang sepatu . . . ."
"Tanpa menjerit atau menangis, mereka melepas pakaian, berdiri dalam kelompok keluarga, saling mencium, mengucap kata perpisahan dan menunggu isyarat seorang SS lain, yang tegak dekat lubang kuburan, juga dengan memegang cambuk . . . .
"Saya perhatikan sebuah keluarga terdiri dari delapan orang, seorang pria dan wanita, keduanya 50-an tahun, dengan anak mereka yang berumur sekitar satu, delapan, dan sepuluh tahun, dan dua anak perempuan yang dewasa . . . . Seorang wanita tua berambut putih menggendong seorang bayi berumur satu tahun, dan bernyanyi untuknya dan menggelitik-gelitiknya. Bayi itu tertawa senang. Pasangan itu memandanginya dengan mata basah. Si ayah memegangi tangan anaknya yang berumur 10 tahun, dan berbicara berbisik, si anak menahan tangis. Si ayah menunjuk ke langit, mengelus kepala si anak dan tampaknya menjelaskan sesuatu kepadanya."
"Saat itu, orang SS di dekat lubang kubur menyerukan sesuatu pada rekannya. Ia menghitung 20 orang dan menyuruhnya pergi balik ke gunduk tanah . . . ."
"Orang-orang itu, telanjang bulat, turun ke kubur melalui tangga tanah di dinding lubang dan melangkahi kepala orang-orang yang terhampar, ke tempat yang ditunjukkan SS itu. Mereka berbaring di depan mayat atau orang yang luka itu, ada yang membelai mereka yang masih hidup dan membisikkan sesuatu. Lalu, saya mendengar serentetan tembakan . . . ."
"Saya melihat ke arah orang yang menembak. Ia seorang SS, yang duduk di tepi bagian yang sempit dari kubur itu, dan kakinya terjuntai ke lubang. Ia memangku sebuah tommy-gun dan merokok."
Bagaimana menerangkan semua itu? Saya tidak tahu. "Saya mencari manusia", konon kata seorang Yunani kuno yang berjalan membawa obor di siang hari bolong. Kita mencari manusia dan tak tahu bisakah kita menemukan peri kemanusiaan -kecuali dengan hati seorang korban.
(adapted from: TEMPO, 14 Des 1991, Catatan Pinggir, page 44 )
Akhir-akhir ini hujan datang di setiap sore atau malam hari, bahkan hujan bisa semalaman tanpa berhenti. Kemarin hujan hanya rintik-rintik saja. Sebentar reda, tapi malamnya turun lagi. Entah kapan berhentinya, Saya sudah terlelap tidur. Di pertengahan bulan ini cuaca memang tak menentu. Orang-orang bilang musim pancaroba. Untungnya hujan jarang di pagi hari (saya anak sekolah yang kudu stand by di pinggir jalan di pagi yang ga buta-buta amat sih)...Yuck, I hate waiting for the bus in the rain. Nah, di bawah ini ada sebuah catatan pinggir yang barangkali bisa menjadi eye opener: Betapa hak itu (in this context is THE RIGHT TO LIVE) sama sekali tak berarti apa-apa -untuk dituntut- ketika pelatuk siap ditarik. Kekejaman? Mungkin saja. Let's read!
HAK
Di depan moncong bedil yang dikokang, bisakah kita bicara tentang kekejaman?
Kita tidak kehilangan hak. Tetapi kita kehilangan kata. Kata-kata menjauh, menciut: kekejaman dan aniaya adalah pengalaman yang mengepung kita, mengucilkan kita dari konsep-konsep. Di depan moncong bedil yang dikokang, dunia menjadi tak bisa diterangkan.
Bahkan, sering dunia juga tak bisa diterangkan setelah bedil ditarik dan pembunuhan selesai.
Pukul 6 sore, 16 September 82, beberapa truk orang bersenjata, berseragam milisia Phalangis di Shatila. Malam itu ada api menyala di dalam dan terdengar suara deras tembakan.
Pukul 10 paginya, para wartawan datang. Mereka menemukan rumah-rumah sudah diledakkan. Agak di sebelah kanan, tak lebih dari 50 yard dari gerbang, tampak setumpuk mayat.
Foto Robert Fisk
Inilah kesaksian Robert Fisk, wartawan The New York Times:
"Ada lebih dari selusin mereka, anak-anak muda yang lengan dan kakinya bertautan dalam rasa pedih kematian. Semuanya telah ditembang dari jarak dekat lewat pipi kiri atau kanan, pelurunya merobek sebaris daging ke arah kuping dan masuk ke otak . . . . Salah satu di antaranya telah dipotong kemaluannya. Mata mereka terbuka lebar, dan lalat mulai berkerumun. Mayat yang termuda mungkin baru berumur 12 atau 13 tahun."
"Di sebelah lain jalan utama, naik sejalur dari reruntukan, kami menemukan jasad lima perempuan dan beberapa anak. Perempuan-perempuan itu setengah baya, dan mayat mereka terbujur menutupi seonggok puing. Seorang di antaranya telentang, pakaiannya robek terbuka, dan sepotong kepala gadis cilik muncul dari belakangnya. Gadis itu berambut pendek, hitam dan ikal, dan matanya memandangi kami dan ada rengut di wajahnya. Ia sudah mati."
"Seorang bocah lain terhantar di jalan seperti setangkai bunga terbuang, bajunya yang putih dikotori lumpur dan debu. Umurnya tak lebih dari tiga tahun. Belakang kepalanya telah diledakkan oleh sebuah peluru yang ditembakkan ke otaknya. Salah satu mayat wanita memegangi rapat bayi yang kecil. Peluru yang menembus dadanya membunuh bayi itu juga . . . ."
Bagaimana menerangkan ini? Dendam orang Phalangis kepada orang Palestina di Libanon? Rasa frustasi yang tertimbun? Kekejaman tanpa kemarahan? Orang bisa menyusun sebuah risalah dan melontarkan pembelaan ataupun tuduhan yang fasih. Tapi kita tak selamanya membutuhkan itu. Potret itu teramat kongkret. Mungkin ia hanya bisa punya makna bila kita berada di depan moncong bedil yang dikokang: sebagai korban atau calon korban, sebagai yang teraniaya dan tak punya kekuatan apapun, meskipun kita punya HAK.
Sebagai halnya 5000 orang Yahudi yang berdiri telanjang, di udara dingin, di dekat kuburan massal yang disiapkan, sebelum pasukan SS Jerman menghabisi mereka, di dekat Dubno, Ukraina, 5 Oktober 42.
Foto Herman Graebe
Seperti kesaksian Herman Graebe, arsitek Jerman yang ada di tempat itu:
"Orang yang diturunkan dari truk-truk itu -pria, wanita, anak-anak pelbagai umur- harus telanjang atas perintah anggota SS yang membawa cambuk . . . . Mereka harus menaruh pakaian yang sudah ditentukan, untuk sepatu, pakaian luar, dan pakaian dalam. Saya lihat 800 sampai 1000 pasang sepatu . . . ."
"Tanpa menjerit atau menangis, mereka melepas pakaian, berdiri dalam kelompok keluarga, saling mencium, mengucap kata perpisahan dan menunggu isyarat seorang SS lain, yang tegak dekat lubang kuburan, juga dengan memegang cambuk . . . .
Foto Kekejaman Tentara SS Jerman
"Saya perhatikan sebuah keluarga terdiri dari delapan orang, seorang pria dan wanita, keduanya 50-an tahun, dengan anak mereka yang berumur sekitar satu, delapan, dan sepuluh tahun, dan dua anak perempuan yang dewasa . . . . Seorang wanita tua berambut putih menggendong seorang bayi berumur satu tahun, dan bernyanyi untuknya dan menggelitik-gelitiknya. Bayi itu tertawa senang. Pasangan itu memandanginya dengan mata basah. Si ayah memegangi tangan anaknya yang berumur 10 tahun, dan berbicara berbisik, si anak menahan tangis. Si ayah menunjuk ke langit, mengelus kepala si anak dan tampaknya menjelaskan sesuatu kepadanya."
"Saat itu, orang SS di dekat lubang kubur menyerukan sesuatu pada rekannya. Ia menghitung 20 orang dan menyuruhnya pergi balik ke gunduk tanah . . . ."
"Orang-orang itu, telanjang bulat, turun ke kubur melalui tangga tanah di dinding lubang dan melangkahi kepala orang-orang yang terhampar, ke tempat yang ditunjukkan SS itu. Mereka berbaring di depan mayat atau orang yang luka itu, ada yang membelai mereka yang masih hidup dan membisikkan sesuatu. Lalu, saya mendengar serentetan tembakan . . . ."
Foto Kekejaman Tentara SS Jerman
"Saya melihat ke arah orang yang menembak. Ia seorang SS, yang duduk di tepi bagian yang sempit dari kubur itu, dan kakinya terjuntai ke lubang. Ia memangku sebuah tommy-gun dan merokok."
Bagaimana menerangkan semua itu? Saya tidak tahu. "Saya mencari manusia", konon kata seorang Yunani kuno yang berjalan membawa obor di siang hari bolong. Kita mencari manusia dan tak tahu bisakah kita menemukan peri kemanusiaan -kecuali dengan hati seorang korban.
(adapted from: TEMPO, 14 Des 1991, Catatan Pinggir, page 44 )
No comments:
Post a Comment